Kamis, 12 Desember 2024

Politik Indonesia Berada dalam Genggaman Plutokrasi


  • Penulis Thomas Koten
  • Rabu, 13 November 2024 | 17:00
  • | Catatan
 Politik Indonesia Berada dalam Genggaman Plutokrasi Ilustrasi: Politik Indonesia berada dalam genggaman plutokrasi. (Kompasiana)

Oleh: Thomas Koten

TATKALA rezim Orde Baru jatuh tersungkur di telapak kaki reformasi, seluruh masyarakat bangsa saat itu begitu bergembira ria. Anak-anak mahasiswa berpesta dengan menduduki dan menguasai gedung DPR. Masyarakat bergembira dan berpesta karena Soeharto, Sang Penguasa rezim Orde Baru yang tak tersentuh selama 32 akhirnya tumbang, tersungkur dan lengser dari singgasananya.

Selama rezim otoritarian Orde Baru, memang kekuasaan berada dalam genggaman satu tangan yang sangat sentralistik-otoritarianistik. Semua kekuatan lain dalam bentuk apa pun, di bidang sosial, ekonomi dan politik berada dalam genggaman satu orang, Soeharto. Soeharto benar-benar menjalankan kekuasaan secara diktator-otoritaritarianistik yang sangat halus ala raja-raja Jawa, tetapi sangat mematikan.

Namun, kegembiraan mahasiswa itu seolah tidak ada manfaatnya secara sosial dan politik. Roda kekuasaan ternyata terus berjalan mencapai bentuknya sendiri, sehingga menemukan wajah-wajah baru dengan kemasan baru, tetapi juga sebenarnya sangat menyesakkan.

Demokrasi di era Orde Baru dinilai dan dirasakan hanya atas nama demokrasi, tetapi sebenarnya tidak ada demokrasi. Karena yang dirasakan hanyalah demokrasi semu dan formallistik belaka, di mana demokrasi dirasakan hanya dalam genggaman satu orang yang terkenal otoriter atau diktator di mana rakyat hanya manut-manut dan nurut tak berdaya.

Tirani Plutokrasi                                                                           -

Ternyata demokrasi yang bersifat semu dan kekuasaan yang berjalan dalam genggaman otoritarianisme dan diktatorianisme, di bawah kendali Soeharto, menjelma dalam bentuk baru di era reformasi yang berjalan hingga hari ini. Kekuasaan yang sentralistik-otoritarianistik, hanya berubah bentuk atau berubah wajah menjadi sosok politik dan kekuasaan yang menyebar dan di bawah kendali beberapa orang atau banyak orang-pemilik modal atau orang-orang kaya.

Bentuk dan wajah kekuasan itulah yang disebut plutokrasi. Plutokrasi adalah bentuk, wajah dan sosok politik kekuasaan yang dikelola dan dikendalikan oleh sekelompok orang-orang kaya yang punya modal kuat. Kekuasaan menjadi terpusat pada segelintir orang kaya. Kekayaan yang mereka miliki menjadi prasyarat untuk mengakses kekuasaan politik dan kebijakan yang dipromosikan oleh kaum plutokrat demi keamanan dan kekuasaan politik yang mereka miliki.

Para plutkratlah yang membiayai kampanye para kontestan bahwa mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk membiayai pemilu dan mengendalikan jalannya pemilu. Dari situlah kehidupan demokrasi dan politik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi, bukan sebagai kegiatan produktif. Segala kalkulasi politik menjadi kalkulasi ekonomi yang diinginkan para plutokrat.

Semua biaya yang mereka keluarkan tidak ada yang gratis, seperti istilah yang sudah lama populer di Amerika Serikat sejak ratusan tahun lalu, tapi tetap kontekstual berlaku sampai hari ini, yaitu tidak ada makan siang yang gratis. Semua aktivitas politik ada kompensasi harganya. Seperti dalam bisnis, siapa yang punya saham lebih besar dia lah yang menguasai demokrasi dan politik. Segala peraturan hingga undang-undang keluar dari keinginan mereka kaum plutokrat.

Dalam perspektif plutokrat, orang-orang kaya inilah yang kemudian menjadi penguasa absolut dan tiran. Filsuf sekaligus etikus Michael Walzer menulis, para pemilik modal atau orang-orang kaya dalam kehidupan politik dan ekonomi kenegaraan, mereka menjadi tiran karena posisi mereka benar-benar berpotensi menjadi tiran.

Tatkala segala bentuk dan kerja kontrol lemah, para plutokrat akan merajalela dalam memainkan peran politik ekonominya dan menghegemoni di setiap lini kekuasaan, sehingga menjadi sosok yang kuat tanpa tandingan. Apalagi jika para plutokrat itu menguasai juga bisnis media yang dimanfaatkan sebagai corong ekonomi bisnis dan politik sekaligus. Para plutokrat besar, kata Walzer, biasanya menguasai ekonomi dan bisnis sekaligus.

Para pemenang pemilu atau penguasa baru  dalam menjalankan kekuasaan atau roda pemerintahan, tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan para plutokrat. Apabila, misalnya ada perjanjian semacam kontrak politik bisnis, yang sudah dibuat di awal kampanye saat hendak menggelontorkan dana kampanye.

Kalau sudah begitu adanya, negara sejak awal perhelatan demokrasi pemilu sudah digadaikan ke tangan para plutokrat. Mimpi rakyat tentang segala kebijakan bernegara sesuai dengan kepentingan kesejahteraan rakyat, tinggallah mimpi. Kepentingan rakyat kembali terpinggirkan dari segala kebijakan politik kesejahteraan rakyat. Tragis

Peran Kontrol Nitizen harus Kencang

Ketika kehidupan politik dan ekonomi sudah dikendalikan oleh para plutokrat, media massa juga sudah ada dalam genggamannya, maka di era digital sekarang ini, peran nitizen harus ditingkatkan. Nitizen sebagai kekuatan medsos tak berwajah harus melakukan kontrol yang ketat dan kuat.

Tatkala negara sudah digadaikan dan sudah dibeli oleh para plutokrat, maka kekuatan yang tersedia di era digital ini tinggal kekuatan nitizen dan kekuatan massa nitizen  terus berjalan, meski risiko yang harus diterima adalah babak belur kehidupan dengan moncong senjata atau minimal diblokir?

Ingat bahwa dalam sejarah politik kekuasaan negara di belahan dunia mana pun dalam adu kekuatan, rakyat tidak pernah kalah dalam pertarungan. Semoga rakyat tetap menjadi rakyat yang punya kekuatan yang tak tertandingi.

Penulis adalah Analis Sosial-Politik.

 

Editor : Farida Denura
Penulis : Thomas Koten

Catatan Terbaru