Loading
Oleh: Thomas Koten
SAAT ini, menuju menghujung tahun 2024, Indonesia sedang menghadapi dua peristiwa politik yang sangat penting. Pertama, peristiwa pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo dan Gibran pada bulan Oktober 2024. Kedua, peristiwa pilkada serentak pada bulan November 2024.
Sambil menunggu langkah politik selanjutnya menuju pelantikan, kita bertanya lirih, pemimpin hasil pemilu dan pilkada itu untuk siapa. Apakah mayoritas masyarakat atau rakyat miskin kecil –wong cilik- serta merta dan secara spontan bergembira ria dan jenaka merayakan kemenangan dari sebuah produk demokrasi ini.
Lebih jauh, apakah para wong cilik menyambut pemimpin baru sebagai pahlawan super hero yang akan membebaskan mereka dari perangkap dan himpitan atau belenggu kesulitan dan rimba raya konflik psikologis dan sosial yang tak hentinya menerjang dan mencekam mereka. Ataukah semua model yang dimainkan itu hanya sebagai kegiatan demokrasi lima tahunan yang sudah dibelenggu oleh sebuah rekayasa yang berorientasi melanggengkan kepentingan tertentu.
Seluruh rakyat kecil alias wong cilik di seluruh pelosok negeri tidak tahu banyak tentang kerangka permainan politik negeri ini. Mereka juga tidak tahu tentang politik dan strategi dalam sebuah pertandingan politik. Mereka juga tidak tahu bahwa suara mereka memiliki peran strategis dalam pemenangan paslon. Bahkan mereka juga tidak tahu dan tidak sadar bahwa suara mereka sering dimanipulasi untuk kepentingan para elit.
Penindasan dan Pembohongan Politik
Ketiadaan akses dan ketidaktahuan wong cilik terhadap permainan politik di tataran elite negeri membuat mereka tetap masa bodoh atau apatis terhadap kehidupan bernegara. Sekaligus tanpa adanya suatu sikap keterbukaan eksistensial terhadap permainan politik negeri, maka pesta demokrasi menjadi sebuah perwujudan yang terselubung bagi mereka.
Memang sulit untuk menelusuri lorong-lorong perundingan yang melibatkan wong cilik dalam mekanisme pengambilan keputusan yang obyektif sesuai dengan keinginan mereka. Dan menjadi konyol juga apabila seluruh rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tataran elite negeri. Tetapi, ironis dan tragisnya, adalah bukan hanya presiden dan wakil presiden, tapi juga para wakil rakyat yang dipilih dengan perangkat misi yang diembannya pun kabur bagi mereka.
Capres-cawapres dan para caleg serta para calon pemimpin daerah hanya muncul memperkenalkan diri menjelang pemilu, pileg, dan pilkada, sesudah itu menghilang. Masalah wong cilik pun tidak pernah diperbincangkan di ruang-ruang sidang para pengambil keputusan politik. Kalaupun diperhatikan itu pun setelah aksi demo massal rakyat dan mahasiswa secara bergelombang berhari-hari kepanasan di terik matahati sambil berhadapan dengan moncong laras senjata aparat.
Itulah dosa politik yang menjerat rakyat dalam perangkap kebisuan. Ibarat domba kurban yang digiring ke pelataran mesbah politik, pasrah tiada berkata. Hanya sorot mata pilu menyimpan tragika yang tidak dimengertinya.
Dulu di zaman Orde Baru para wong cilik selalu digiring memasuki labirim gelap gulita kegelisahan yang berkepanjangan di mana ladang-ladang kebebasan mereka dipagari dengan perangkat peraturan ideologi jangan begitu jangan begini demi mistik stabilitas. Rakyat dipaksa untuk mencintai stabilitas dan menjaga keamanan yang katanya untuk republik.
Lalu Bagaimana Sekarang
Sekarang perlu dikaji kembali pandangan teoretis yang lebih absah tentang kekuasaan politik di kalangan wong cilik. Bahwa keputusan-keputusan. Politik di ruang eksekutif dan legislatif harus lebih diarahkan lagi untuk mengakomodasi kepentingan wong cilik. Sehingga, demokrasi tidak dinilai sebagai suatu komoditi politik murahan.
Kalau itu yang terjadi, demokrasi yang digaungkan hari ini perlahan tapi pasti akan terus dihantarkan ke tebing jurang kekuasaan yang secara perlahan jatuh. Dan rakyat akan menunjukkan jati dirinya bahwa suara rakyat benar suara Tuhan, dan rakyat tak pernah kalah dalam perjuangan itu.
Maka, mulai sekarang hentikan segala sandiwara politik di negeri ini yang tidak henti-hentinya membodohi dan meninabobokan rakyat. Biar pesta demokrasi bukan saja bikin gembira sesaat dan kenyang di perut politik, tetapi juga menyehatkan seluruh tubuh bangsa.
Thomas Koten adalah Analis Sosial-Politik.