Loading
Oleh: Thomas Koten
KAUM milenial yang berusia 17-35 tahun, yang identik dengan kaum pengguna internet atau medsos, sesungguhnya merupakan subyek yang menentukan masa depan bangsa, karena mereka dapat memberikan warna tersendiri yang mencerminkan kehidupan berdemokrasi di negeri ini.
Mengingat jumlah kaum milenial saat ini sangat banyak, dan karena itu sangat menentukan pemenangan pemilu atau pilkada, maka kepentingan mereka tidak bisa diabaikan dalam hitungan-hitungan politik, terutama dalam kaitannya dengan pemaparan program-program kampanye.
Artinya, dengan kondisi obyektif masyarakat saat ini, membuat keberadaan kaum milenial sangat memengaruhi dan menentukan berbagai kecenderungan dari sikap politik masyarakat yang akan memberikan warna pada perolehan suara setiap kontestan di daerah pemilihan.
Sikap Ekstrem Politik Kaum Milenial
Dalam kaitan dengan pilkada, apabila dilihat dari dimensi sosial politik- dalam rentang usia 17-35 tahun tersebut, secara umum dapat dijumpai sebuah rentang sikap politik yang bergerak dari sikap ekstrem yang satu ke sikap ekstrem yang lain.
Keputusan dalam menjatuhkan pilihan politik sangat ditentukan oleh sikap ekstrem tersebut. Sikap ekstrem yang bertautan dengan struktur demografis-ekonomis yang ada di daerahnya. Secara ekonomi, permasalahan utama yang dihadapi kaum milenial adalah masalah lapangan kerja, pengangguran pendidikan dan kondisi sosial masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan anak muda atau kaum milenial.
Apakah mereka termasuk kelompok yang masih sekolah di perguruan tinggi atau kelas tiga sekolah menengah, atau yang sedang mencari pekerjaan atau yang sudah mulai bekerja, tetapi dengan gaji yang kecil atau ada yang masih nganggur.
Dari sisi ekstremitas sikap politik pemilih pemula atau pemilih kaum milenial, pertama suatu sikap politik memilih pasangan pemimpin daerah dengan pertimbangan bahwa pilihannya akan turut memengaruhi kehidupan sosial politik dan ekonomi di daerahnya pada masa yang akan datang. Dalam hal ini, penciptaan lapangan kerja merupakan rujukan utama dalam mempertimbangkan penentuan sikap memilih pemimpin.
Artinya, mereka mengharapkan perubahan kondisi sosial ekonomi setelah pilkada. Masalahnya, calon pemimpin yang menawarkan diri untuk memimpin daerah itu memenuhi harapan mereka atau tidak. Ingat bahwa sudah terjadi dalam beberapa kali pemilu, pasca perhelatan demokrasi, rakyat kembali berkubang dalam aneka kesulitannya, sedangkan para pemimpin yang terpilih berpesta pora menikmati kemenangannya. Janji-janji politik yang mereka dengar pada saat pilkada, mungkin hanya 15 persen yang terealisasi, sedangkan 90 persen hanyalah janji palsu.
Maka, tidak heran muncullah sikap ekstrem berikut, yakni mereka menjadi apatis, dan masuk dalam barisan golput alias barisan masa bodoh politik. Mereka lalu menjadi apriori politik terhadap para calon pemimpin, bahwa semuanya akan sama saja, dengan ujung cerita yang memilukan bagi rakyat.
Kaum milenial yang berekstrem negatif ini seperti yang sudah dipaparkan di atas yakni bisa datang dari mahasiswa, para aktivis LSM, dan kelompok-kelompok studi yang cenderung bersikap kritis menghadapi pemilu atau pilkada, juga kelompok pengangguran, para pekerja yang gajinya sangat minim, dan lain-lain.
Kejelian Saat Kampanye
Maka, masalahnya saat ini adalah bagaimana para kontestan mengatur strategi kampanye yang bisa menjalin kepercayaan politik rakyat - kaum milenial yang jumlahnya sangat banyak ini.
Sebenarnya, kaum milenial sangat terbuka terhadap kehidupan politik di negeri ini. Mereka tahu dan sadar bahwa pilkada adalah satu-satunya jalan memilih pemimpin, suka atau tidak suka. Dan kesejahteraan rakyat hanya bisa tercapai dengan hadirnya pemimpin yang dipilih secara tepat lewat pilkada atau pemilu.
Lalu bagaimana? Jalan satu-satunya bisa meyakinkan para pemilih dari kalangan kaum milenial untuk terlibat dalam pilkada adalah dari pilkada 2024 ini para pemimpin yang terpilih harus benar-benar menepati janji-janji politiknya. Sehingga, untuk pilkada atau pemilu yang akan datang tidak lagi lahir kaum milenial yang masa bodoh dengan pilkada atau pemilu.
Kalau itu gagal dilakukan, jangan heran apabila pada pemilu atau pilkada mendatang akan tampil banyak anak-anak milenial yang apatis terhadap kehidupan politik di negeri ini. Tentu itu sangat tragis dan memprihatinkan.
Penulis adalah Analis Sosial-Politik.