Loading
Oleh: Thomas Koten
RAKYAT kini mulai diarahkan pada kenduri demokrasi pemilihan kepala daerah, -pilkada gubernur, bupati dan wali kota di seluruh Indonesia. Partai politik beserta kontestan sudah mulai membangun strategi marketing pemenangan pilkada. Lobi-lobi politik dan berbagai cara pendekatan politik ke masyarakat pemilih dan para tokoh masyarakat serta kantong-kantong politik massa mulai digalakan.
Pembangunan marketing politik pemenangan dalam pilkada tentu tidak sama dengan marketing politik pemenangan yang dilakukan pada pemilu. Dalam pilkada, pemimpin yang dipilih harus memiliki ikatan atau kedekatan emosinal, punya relasi personal, karena pemimpin daerah yang dipilih sangat diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka sehari-hari.
Hal yang lebih kurang sama, paling tidak, baik pilpres maupun pilkada, masing-masing kontestan menghadapi masyarakat pemilih daerah yang semakin kritis-rasional dan dengan pemilih tradisional yang lebih mengandalkan pada kedekatan relasi personal yang mereka kenal sehari-hari.
Mengenal Tipologi Pemilih Daerah
Mengenal dan memahami tipologi pemilih dalam pilkada sebenarnya jauh lebih mudah ketimbang dalam pemilu. Apalagi misalnya, calon memimpin daerah benar-benar putra daerah yang sangat memahami kondisi masyarakat pemilih. Hanya saja perlu dicatat bahwa meskipun para calon pemimpin daerah sebagian sudah mengenalnya, tetapi marketing politik harus benar-benar dibangun secara matang oleh parpol dan konstestannya.
Oleh karena dari tipologi pemilih yang benar-benar dipahami itulah bisa diketahui secara pasti sosok pemilih yang sesuai dengan pandangan politik mereka terhadap sosok parpol pendukung dan kontestan yang sedang mengendarai parpol tersebut. Dari situ pula kita bisa mengetahui tipe pemilih, apakah memiliki pandangan subyektif atau obyektif terhadap parpol sekaligus kontestan yang ditawarkan dalam marketing politik.
Untuk mencapai tahapan ini, Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, menegaskan perlu diketahui lebih dulu bahwa dari masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu pertama, orientasi policy problem solving, dan kedua orientai ideologi.
Apabila pemilih berorientasi pada policy problem solving, maka yang terpenting bagi mereka adalah sejauhmana kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat pemilih. Pemilih akan cenderung obyektif memilih kontestan yang memiliki kepekaan sosial terhadap masalah daerahnya.
Sedangkan pemilih yang lebih berorientasi pada ikatan ideologi, para pemilih akan mengutamakan relasi personal dengan parpol dan kontestan dan segala sesuatunya lebih bersifat subyektivitas seperti orang yang benar-benar dekat dengan pemilih, suku, budaya, agama dan sejenisnya yang memiliki ikatan-ikatan emosinal dengan pemilih.
Untuk tipologi pemilih yang terakhir ini, akan menjadi tantangan serius bagi para kontestan yang selama ini berkiprah di luar daerah yang tiba-tiba muncul memperkenalkan diri menjelang pilkada. Ini sesuatu yang sangat serius dan selalu terjadi pada setiap kali perhelatan pilkada.
Ingat bahwa demokrasi sekarang, dengan terus-menerusnya pemilu dan pilkada, telah membuat rakyat semakin cerdas memilih pemimpinnya. Karena masyarakat seperti sudah hafal bahwa setelah pemilu atau pilkada selesai, para kontestan yang terpilih bersukaria atas keterpilihannya dan rakyat kembali ditinggalkan dalam kubangan kesulitannya sehari-hari.
Karena kontestan yang tiba-tiba muncul menjelang pilkada, tidak punya garansi apa pun yang dijadikan sebagai jaminan ketika sudah terpilih nanti dan siap memenuhi janji-janji kampanye politiknya. Berbeda dengan kontestan yang sebelumnya atau selama ini sudah dikenal dekat dengan pemilih di mana secara psikologi dan sosial sosok dirinya sudah menjadi jaminan atau garansi politik tersendiri.
Selain itu, sebenarnya masih ada tipologi pemilih jenis ketiga, yakni pemilih mengambang yaitu kelompok pemilih pragmatis, di mana mereka tidak terpengaruh oleh program kontestan, kharisma dan daya tarik kontestan, kedekatan emosional, suku, agama dan lain-lain. Pemilih dengan tipologi ini biasanya menentukan pilihannya baru pada saat menjelang pilkada.
Strategi Kampanye
Untuk menggaet para pemilih dengan tipologi di atas, dibutuhkan strategi kampanye dengan pemetaan kantong-kantong suara yang jelas dengan mempelajari karakter pemilih di tiap-tiap daerah. Ini sangat penting bagi para kontestan yang tiba-tiba datang memperkenalkan diri kepada masyarakat menjelang pilkada.
Apalagi jika para kontestan hendah berusaha menggaet pemilih tradisional yang mengutamakan kedekatan emosional, seperti kesamaan suku, budaya, agama dan daerah. Di sini, sang kontestan harus memiliki figur yang dapat dijadikan ujung tombak dari tim sukses yang benar-benar dikenal oleh masyarakat pemilih yang hendak diraih.
Figur ujung tombak itulah yang menjadi garansi politiknya. Figur ujung tombak yang harus meyakinkan para pemilih tradisional dan menjadi jembatan untuk merealisasikan janji program setelah terpilih.
Solusi tulisan ini lebih difokuskan pada kontestan yang tidak dikenal sebelumnya oleh masyarakat calon pemilih yang lekat dengan ideologi partai atau kedekatan emosional dengan kontestan. Karena masyarakat tradisional di tingkat daerah dengan tingkat pemikiran yang lebih sederhana, mereka tidak mau repot atau ribet. Mereka cenderung memilih orang-orang yang biasa mereka kenal, minimal lewat medsos.
Penulis adalah Analis Sosial dan Politik.