Loading
Oleh: Thomas Koten
PERILAKU seorang politisi tidak terlepas dari faktor psikologis yang ada dalam dirinya. Karena seperti kata psikolog kenamaan Green Stein, faktor kepribadian atau psikologis merupakan atribusi konstitutif yang bersifat relatif menetap yang akan memengaruhi keyakinan, sikap dan segala aktivitas sosial dan politik.
Dari situ pula kita bisa memahami sejauh mana seorang politisi bermain politik atau berpolitik, baik dalam usaha memperebutkan kekuasaan maupun dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaan yang sudah diraihnya.
Itu pula benar apa yang dikatakan filsuf Nitezsche bahwa naluri psikologis manusia yang tidak pernah padam adalah nalurinya untuk meraih dan merengkuh kekuasaan serta terus-menerus berusaha untuk mempertahankan apa yang sudah didapatnya. Karena penguasa selalu merasa bahwa kekuasaan itu begitu nikmat, tidak ada kenikmatan lain di dunia ini yang melebihi kenikmatan akan kekuasaan.
Hal itu dipertajam lagi oleh ungkapan filsuf Jean Paul Sartre bahwa manusia yang memiiliki keinginkan yang tanpa batas adalah manusia yang telah mati kesadaran nuraninya, telah lumpuh hati nuraninya, dan telah tak berfungsi moralnya.
Semua itu seolah disimpulkan oleh sang psikoanalis Sigmud Freud, yaitu bahwa kesadaran manusia merupakan bagian terkecil dari seluruh kepribadian manusia yang didominasi oleh ketidaksadaran. Itulah yang bisa membuat para politisi tidak sadar bahwa dirinya sudah mati kesadaran moralnya dalam berpolitik.
Kesia-siaan dalam Berharap
Dalam bingkai itulah membuat kita sulit untuk mengharapkan seorang politisi untuk bisa mundur atau berhenti dari niatannya untuk terus mengejar kekuasaan, karena kekuasaan baginya terasa begitu nikmat. Politisi yang sudah menang dalam pileg masih bisa juga berkeinginan untuk maju sebagai calon gubernur atau calon bupati atau calon wali kota. Atau politisi yang sudah berkuasa lima tahun masih ingin berkuasa lagi untuk lima tahun berikutnya.
Kadang-kadang para politisi itu mempertahankan kekuasaan atau ingin terus maju dan maju lagi untuk merebut kekuasaan hanya demi sebuah harga diri. Ini pun sejak lama dikatakan oleh psikolog Lasweel bahwa seorang politisi dalam meraih dan merengkuh kekuasaan sebagai suatu bentuk pelampiasan kebutuhan penegakan harga diri self-esteem yang merasa belum terpenuhi selama ini.
Kesia-siaan mengharapkan seorang politisi atau penguasa berhenti dari pencarian dan pengejaran kekuasaan, mengingatkan kita juga pada ilmu-ilmu neurologis yang secara spesifik soal proses sistem saraf manusia.
Disiplin neurosis mengingatkan bahwa apa yang disebut dengan kesadaran manusia pada dasarnya merupakan fungsi dari pergerakan neurons sistem saraf pusat dalam merespon stimuli eksternal. Neurons itu keberadaannya sudah established bawaan sejak lahir.
Oleh karena itu, untuk mengedepankan perilaku manusia seperti para politisi pemburu kekuasaan yang tanpa akhir agar bersikap obyektif rasional dan humanis, jelas-jelas merupakan kenihilan. Karakter dan kesadaran manusia seperti para politisi merupakan manivestasi dari struktur neurons dalam sistem saraf pusat manusia dalam hal ini para politisi.
Dan matinya kesadaran moral itu tampaknya membekap para politisi yang begitu menikmati kekuasaan sebagai kue legit yang nikmatnya tiada tara.
Perlu Aturan Politik
Satu-satunya jalan atau cara untuk bisa mengendalikan dan menghentikan atau mengurangi nafsu atau syahwat politik hanya dengan mengetatkan undang-undang untuk membatasi atau memberikan rambu-rambu yang jelas untuk mereka bisa mengendalikan nafsu berkuasa dari para politisi. Karena bagaimana pun undang-undang adalah wadah atau induk investasi politik.
Karena matinya kesadaran nurani atau moral, bukan hanya satu dua orang politisi, tetapi boleh dikatakan semua politisi memiliki naluri ingin berkuasa tanpa henti. Para litisi kita seperti sudah karatan idealisme agung dalam berpolitik. Karena itu harus segera dikendalikan dengan undang-undang politik baru.
Selain itu, sekecil apa pun itu, kita masih tetap berharap tidak semua politisi kita benar-benar telah mati kesadaran moralnya, melainkan masih ada yang tersisa dengan memiliki idealisme politik yang agung.
Penulis adalah pengamat sosial dan politik.