Rabu, 31 Desember 2025

Sanae Takaichi: ‘Wanita Besi‘ Jepang yang Siap Pecahkan Tradisi Politik Negeri Sakura


  • Minggu, 05 Oktober 2025 | 20:00
  • | Tokoh
 Sanae Takaichi: ‘Wanita Besi‘ Jepang yang Siap Pecahkan Tradisi Politik Negeri Sakura Sanae Takaichi akhirnya memimpin Partai Demokrat Liberal Jepang dan berpeluang menjadi perdana menteri perempuan pertama. (Getty Images/bbc.com)

DI USIA 64 tahun, Sanae Takaichi akhirnya menaklukkan mimpi yang ia kejar selama puluhan tahun. Pada Sabtu bersejarah yang bertepatan dengan hari jadi ke-70 Partai Demokrat Liberal (LDP), ia terpilih sebagai pemimpin partai berkuasa di Jepang — langkah besar yang menempatkannya di jalur untuk menjadi perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Negeri Sakura.

Dari Drummer Heavy Metal ke Dunia Politik

Lahir di Prefektur Nara pada 1961, Takaichi tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya bekerja di kantor, sementara sang ibu berprofesi sebagai polisi. Politik sama sekali bukan bagian dari hidupnya kala muda — yang justru diwarnai dengan dentuman drum dan semangat kebebasan.

Sebagai drummer band heavy metal, ia dikenal dengan gaya bermain yang bertenaga hingga sering mematahkan stik drumnya sendiri. Ia juga gemar menyelam dan mencintai mobil sport, terutama Toyota Supra kesayangannya yang kini dipajang di museum di Nara.

Sebelum terjun ke dunia politik, Takaichi sempat bekerja sebagai pembawa acara televisi. Namun panggilan hidupnya berubah pada 1980-an, ketika ketegangan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat memuncak. Demi memahami cara pandang Amerika terhadap Jepang, ia berangkat ke AS dan bekerja di kantor Patricia Schroeder, anggota Kongres dari Partai Demokrat yang terkenal vokal mengkritik Jepang.

Dari pengalaman itu, Takaichi menyadari pentingnya Jepang untuk berdiri tegak di panggung internasional. “Kecuali Jepang bisa mempertahankan dirinya, nasibnya akan selalu bergantung pada opini dangkal negara lain,” ujarnya kala itu.

Langkah Politik yang Penuh Keteguhan

Takaichi pertama kali mencalonkan diri sebagai anggota parlemen pada 1992 — dan kalah. Namun kegagalan tidak menghentikannya. Setahun kemudian ia berhasil meraih kursi parlemen dan pada 1996 bergabung dengan Partai Demokrat Liberal (LDP).

Sejak saat itu, karier politiknya terus menanjak. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Keamanan Ekonomi, Menteri Perdagangan dan Industri, serta memegang rekor sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi dengan masa jabatan terpanjang.

Upaya pertamanya menjadi pemimpin LDP pada 2021 berakhir dengan kekalahan dari Fumio Kishida. Tahun berikutnya ia kembali mencalonkan diri dan sempat unggul di putaran pertama, tapi kalah tipis dari Shigeru Ishiba. Barulah di 2025, upaya ketiganya membuahkan hasil. Kemenangan ini membuka jalan baginya menuju kursi perdana menteri Jepang.
“Tujuan saya adalah menjadi Wanita Besi,” katanya suatu kali di hadapan sekelompok anak sekolah, mengutip julukan yang dulu disematkan pada Margaret Thatcher.

Konservatif, Namun Mulai Melunak

Dikenal sebagai figur konservatif, Takaichi kerap menolak kebijakan progresif seperti penggunaan nama gadis bagi perempuan menikah atau pengesahan pernikahan sesama jenis. Namun, dalam kampanye terbarunya, ia memperlihatkan sisi yang lebih moderat.

Ia berjanji untuk mendukung kebijakan ramah keluarga, termasuk pengurangan pajak bagi orang tua yang membayar biaya pengasuhan anak, serta insentif bagi perusahaan yang menyediakan fasilitas penitipan anak di tempat kerja.

Kebijakan ini lahir dari pengalaman pribadinya. “Saya tiga kali mengalami peran sebagai pengasuh dalam keluarga. Karena itu, saya ingin menciptakan masyarakat di mana orang tidak harus meninggalkan karier mereka demi mengasuh atau merawat orang terdekat,” ujarnya dilaporkan Tinshui Yeung untuk bbc.com.

Bayang-bayang Abe dan Tantangan Baru

Sebagai murid politik dari mendiang Shinzo Abe, Takaichi bertekad melanjutkan visi ekonomi Abenomics — perpaduan antara belanja publik tinggi dan pinjaman lunak untuk mendorong pertumbuhan. Ia juga dikenal sebagai pengunjung rutin Kuil Yasukuni, tempat penghormatan bagi pahlawan perang Jepang, termasuk mereka yang pernah divonis sebagai penjahat perang.

Dalam hal pertahanan, ia mendukung pelonggaran konstitusi Jepang agar Pasukan Bela Diri dapat memiliki kemampuan ofensif, sebuah topik yang sensitif di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Asia Timur.

Namun, di balik kekuatan citranya, Takaichi menghadapi realitas yang tak mudah. LDP kini kehilangan dukungan publik akibat skandal, kelesuan ekonomi, serta isu demografi yang kian mengkhawatirkan. Ia pun sadar, perubahan adalah keharusan.

“Kami telah menerima kritik keras dari pendukung inti kami,” katanya dalam pidato kemenangannya. “LDP harus berubah demi masa kini dan masa depan Jepang. Kami akan selalu mengutamakan kepentingan nasional dan menyeimbangkan langkah dengan bijak.”

Jika parlemen Jepang mengesahkannya pada 15 Oktober mendatang, Sanae Takaichi akan menorehkan sejarah baru — bukan hanya sebagai pemimpin LDP, tetapi juga sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang. Sebuah simbol keteguhan, keberanian, dan mungkin, perubahan arah bagi politik Jepang.

Editor : Farida Denura

Tokoh Terbaru