Loading
Oleh: Thomas Koten
SETELAH pemilu bulan Pebruari lalu, kini rakyat bersiap mengikuti pesta demokrasi pilkada. Rakyat di berbagai daerah di Indonesia kembali menentukan eksistensi dirinya sebagai penguasa dalam menentukan siapa pemimpin yang layak memimpin daerahnya.
Meskipun setelah pemilu atau pilkada rakyat selalu merasa ditinggalkan, tetapi rakyat tahu di hari pencoblosan, dirinyalah yang berkuasa menentukan siapa pemimpin di daerahnya. Setidaknya dalam satu hari itu, rakyat bisa membusung dada menunjukkan siapa dirinya dalam berdemokrasi.
Tentu di balik pesta demokrasi itu rakyat berharap pemimpin yang dipiilihnya itu benar-benar membawa amanah untuk menyejahterakan rakyat. Meskipun pesimisme juga selalu ada seperti yang selama ini terjadi, di mana setiap kali setelah pemilu, nasib rakyat selalu diabaikan. Pemenang pemilu berpesta, dan rakyat kembali dalam diam.
Minimnya Calon Kepala Daerah Perempuan
Sangat disayangkan, sampai pilkada kali ini, dari pantauan media, calon pemimpin daerah seperti calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota dari kalangan perempuan sangat minim. Laki-laki masih mendominasi calon pemimpin daerah di seluruh pelosok daerah, provinsi, kabupaten dan kota madya.
Kondisi politik seperti ini berbanding terbalik dengan jumlah pemilih perempuan yang jauh lebih banyak dari jumlah pemilih laki-laki. Jumlah peremuan yang lebih banyak ini sebenarnya mendorong pemerintah daerah atau nasional membuat kebijakan yang jauh lebih memperhatikan kepentingan perempuan.
Lebih tepat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan perempuan oleh pemimpin perempuan. Karena perempuanlah yang lebih memahami kebutuhan-kebutuan dan kepentingannya. Artinya, perempuan di Indoneisa menempati populasi mayoritas secara struktural, tetapi dalam realitasnya tidak cukup berdaya dalam proses pembangunan bangsa karena kerap dibatasi oleh kekuasaan yang cenderung represif dan atau diskriminatif.
Dengan kata lain, dalam data statistik Indonesia secara umum menyebutkan pemilih perempuan di atas 50% di setiap pemilu dan pilkada. Dan pemilih perempuan dinilai sebagai pemilih paling aktif dalam memilih. Jumlah golput di kalangan perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki.
Karena itu, terasa sangat memiriskan apabila jumlah perempuan yang menjadi calon pemimpin daerah jauh lebih sedikit daripada calon laki-laki. Padahal, apabila perempuan maju menjadi calon diharapkan aspirasi dan kepentingan perempuan seperti KDRT, libur haid bagi perempuan pekerja, dan lain-ain dapat disuarakan. Dengan itu dapat menginspirasi perempuan lain untuk berani maju dalam berpolitik memperebutkan kekuasaan.
Komitmen Politik
Harapan politik kita, partai politik dalam melakukan penjaringan harus memperhatikan calon pemimpin dari kalangan perempuan. Kesempatan dan kesetaraan politik atau politik yang emansipatoris harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh partai politik.
Untuk memback-up itu, harus ada undang-undang yang lebih tegas lagi dalam mengakomodir kepentingan perempuan dengan menetapkan jumlah calon pemimpin daerah dari kalangan perempuan. Tanpa itu, sulit rasanya bagi perempuan dalam berpolitik memperebutkan kekuasaan di daerah.
Penulis adalah Analis Sosial dan Politik.