Loading
Oleh: Thomas Koten
PEMBANGUNAN adalah sebuah kata yang selalu mencuat dalam diskursus publik, baik dalam ranah politik maupun ekonomi dan sosial. Karena pembangunan itu sendiri dimengerti sebagai sebuah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat ekonomi, sosial politik dan budaya baik pada level makro maupun level mikro.
Apalagi Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya membangun diri untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara lain yang sudah maju, supaya status negara berkembang lenyap dan ditingkatkan menjadi negara maju. Sayang, bahwa negara yang sedang berjuang keras membangun dirinya ini masih harus menghadapi musuh dalam dirinya sendiri seperti masalah korupsi, sumber daya manusia yang belum terlalu tinggi, ditambah lagi dengan masalah kemiskinan dan stunting serta budaya kerja keras yang belum jadi etis-spirit bangsa dan lain-lain.
Artinya, tantangan dari dalam diri Indonesia sendiri menjadi penyakit menahun yang harus dihadapi dan harus disembuhkan terlebih dahulu supaya pembangunan secara menyeluruh bisa berjalan lancar. Tepat kata Bung Karno, musuh bangsa setelah kemerdekaan jauh lebih berat karena harus berhadapan dengan bangsa sendiri, daripada sebelum kamerdekaan, karena musuhnya adalah bangsa asing.
Pembangunan Berintegral
Pembangunan memang disakralkan sejak zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Namun sayang, sakralitas pembangunan bak mantra di zaman Soeharto tersebut, daoam praksisnya lebih berorientasi fisikal-material belaka dan mengesampingkan sisi humanitas. Di mana keberhasilan pembangunan lebih diukur dari banyaknya gedung pencakar langit, pengagungan arsitekturnya, tanpa memperhatikan pembangunan secara menyeluruh, sehingga tercipta kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat.
Hasilnya yang kita lihat adalah etika dan estetika pembangunan yang bermuatan kearifan lokal menjadi sebuah konsep yang sulit dijangkau. Artinya, tatkala rumusan pembangunan yang menakar pada kemajuan material-teknologis, membuat sisi moral, etika dan estetika yang berpijak pada kearifan lokal terpinggirkan.
Ujung dari orientasi pembangunan seperti itu adalah kepincangan substansif dari pembangunan yang menghasilkan kelompok minoritas kaya dan mayortas miskin dengan tingkat kesenjangan yang semakin melebar, juga jurang pemisah antara pusat dan daerah semakin lebar. Keberadaan manusia lokal semakin terasing.
Kepincangan-kepincangan itulah yang kemudian menjadi salah satu penyebab lahirnya watak keserakahan seperti korupsi. Karena manusia yang merasa terasing ingin mendapatkan posisi tidak terasing, dengan jalan pintas, yakni korupsi. Karena korupsi lahir akibat dari ketiadaan moral dan etika serta nilai-nlai estetika kehidupan.
Sebagaimana kata feminis Vandana Shiva, pembangunan sebagai mall-development dan Dennis Gaulet menyebut pembangunan sebagai pseudo development. Adalah pembangunan yang terus menerus mengabaikan pembangunan manusia secara utuh, akan membawa malapetaka ekologis dan melahirkan dehumanisasi. Apalagi ketika dimensi etika, moral dan estetika serta spiritualitas masyarakat, terutama masyarakat lokal terabaikan.
Pembangunan Berkearifan Lokal
Oleh karena itu, dalam membangun Nusa Tenggara Timur –NTT harus benar-benar diperhatikan soal kelemahan dalam pembangunan di atas. Kearifan lokal NTT harus dijadikan sebagai sumber makna hidup dasar nilai dan cermin tatanan sosial manusia atau masyarakat NTT di tengah kosmos bumi NTT. Lingkungan alam NTT yang keras, budaya daerah yang majemuk harus menjadi penopang material dan landasan pembangunan.
Apabila hal itu tidak diperhatikan sejak sekarang, maka cepat atau lambat akan terjadi keretakan budaya, disintegrasi sosial, dan ambruknya tatanan kehidupan masyarakat NTT secara menyeluruh. Apabila sudah sampai pada titik ini, akan mencuatkan berbagai ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat NTT, korupsi akan terus menyebar, berbarengan dengan berbagai kejahatan lainnya.
Untuk itu yang perlu diperhatikan secara serius hari ini adalah bagaimana membangun NTT secara integral, fisik material, moral, etika, estetika dan spiritual. Perlu suatu bentuk pembangunan wajah NTT yang bermartabat, dengan perencanaan manajemen kebijakan secara ekologis dengan melibatkan masyarakat lokal yang berbudaya adiluhung, supaya ekologi, lingkungan, dan budaya NTT dapat terkelola dengan baik.
Pembangunan apa pun yang dilakukan di NTT harus memosisikan manusia NTT di tengah tatanan kosmisnya. Karena dari kosmos NTT lah manusia NTT hidup dan terus tumbuh dalam kekayaan dan keunikannya. Dari budaya dan seluruh kearifan lokalnya itulah manusia NTT bisa hidup dan beranak pinak.
Penulis adalah Analis Sosial dan Politik.