Loading
Oleh: Thomas Koten
SETELAH Garuda Muda U-23 secara spektakuler berhasil masuk semifinal Piala Asia, kini Indonesia senior mengincar tiket Piala Dunia 2026 yang diselenggarakan di tiga negara; Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko. Proyek naruralisasi – merekrut pesepak bola keturunnan berdarah Indonesia yang bertebaran di berbagai neggara pun dimaksimalkan.
Sebuah proyek prestisius dari PSSI yang memberikan harapan bagi Indonesia untuk mewujudkan mimpi membawa garuda terbang tinggi hingga bisa berbicara di level internasional di Olimpiade dan Piala Dunia.
Lalu, apakah sekarang kita boleh bermimpi dan bisa mewujudkan mimpi tentang keikutsertaan kita di Piala Dunia? Soal bermimpi ini saya masih teringat dan terinspirasi kembali dengan iklan extra joss di televisi tatkala perhelatan Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang tahun 2006.
Iklan extra joss dimulai dengan sebuah jepretan terhadap seorang laki-laki Indonesia berkostum sepak bola di sebuah lapangan, yang kemudian memandang dekat ke kamera dan bertanya, “Kapan sepak bola Indonesia ikut Piala Dunia?”
Adegan berikut adalah di ruang ganti pakaian, dimana laki-laki tadi hendak mengambil minuman kaleng dari mesin minuman, jendela kaca mesin minuman tiba-tiba berubah jadi sebuah layar televisi dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal saat itu dari Italia nan tanpan, Del Piero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya.
Apa yang terlihat di sana, laki-laki Indonesia tersebut dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar oleh Del Piero. Del Piero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya di layar televisi berbunyi cukup lirih, “Jangan putus asa”. Dan kata putus asa ini, kata pelatih terkenal Nick Bollettieri bahwa sikap putus asa adalah tanda kelemahan dari kepribadian yang belum matang.
Soal putus asa ini, bagi bangsa Indonesia sebagaI bangsa pejuang hingga hari ini, belum sampai ke tahap putus asa itu. Buktinya, hingga hari ini kita di bawah ketua PSSI Bapak Erick Tohir, masih berjuang, dan terus berjuang. Seperti bahasa yang sering diucapkan oleh Erick Tohir, kita bangsa pejuang, sehingga tak kenal kata putus asa. Meski selama ini kita merasa dilecehkan dan dihinakan, karena masa ya, bangsa yang sangat besar dan masyarakatnya penggila bola ini timnas belum juga berbicara banyak di kancah internasional.
Seperti iklan extra joss, kita sebenarnya merasa agak terhina, di mana terbaca semacam sebuah sadomaskhisme nasionalisme karena kita semua konsumen dari iklan itu, merasa terhina karena melihat diri dipermainkan dan direndahkan oleh pemain asing, dipantati keluar dari permainan dan dinasihati untuk tidak utus asa.
Sebagai bangsa pejuang, sudah waktunya kita bangkit dan terus bangkit memajukan sepak bola nasional. Tidak boleh terus diremehkan dengan cara dipantati. Tapi harus diingat dan disadari bahwa kebangkitan sepak bola nasional yang kini sudah mulai dibangun itu tentu tidak akan berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Banyak mafia bola akan selalu ikut bermain untuk menghalangi proyek besar ini, seperti menggagalkan proses naturalisasi atau menggeruduk para pemain nasional terutama pemain naturalisasi.
Para mafioso bola itu bisa bermain dalam sosok pengamat yang jelas-jelas tidak suka dengan pelatih STY maupun hadir dalam sosok nitizen yang menggeruduk pemain hasil naturalisasi.
Sambil berjuang untuk memajukan sepak bola nasional, mafia bola harus benar-benar diberantas. Jaringan mafioso bola harus diberangus.
Mari terus berjuang tanpa batas, tanpa akhir.
Penulis adalah Analis Sosial dan Politik.