Loading
Oleh: Thomas Koten
POLITIK itu, seperti dalam banyak tulisan saya yang senang menyitir filsuf Yunani klasik, Aristoteles dan Plato, yaitu suatu seni dalam mengelola negara. Dan tujuan luhur politik adalah menciptakan kesejahteraan rakyat, sekaligus membangun masyarakat beradab.
Lalu, politikus, sebagaimana kata sosiolog kenamaan Maxmilian Weber, adalah tugas mulia keberbangsaan dan kebernegaraan dalam usaha menciptakan kesejahteraan rakyat. Jadi, seorang politikus, kata Weber, harus menyadari bahwa politik ist beruf und berufung. Artinya, politik adalah tugas, jabatan dan panggilan hidup untuk kemuliaan masyarakat dan bangsa.
Jadi, seorang politikus harus selalu tulus dan ikhlas dalam berjuang, penuh pengorbanan yang tanpa pamrih demi kesejahteraan rakyat dan keagungan bangsa. Seorang politikus yang tulus tidak melakukan kalkulasi untung dan rugi dalam kerja politik. Semua biaya yang dikeluarkan adalah bagian dari pengorbanan politik. Semua jerih payah dan keringat adalah wujud pengabdian dan pengorbanan.
Namun apa yang kita lihat politik Indonesia hari ini adalah sebuah wajah yang menyeramkan, wajah bengis penuh kebencian. Wajah dan tubuh politik bangsa ini pun semakin terlihat kotor dan degil.
Politik Binal di Republik Drakula
Artinya, wajah politik Indonesia hari ini sebagaimana kata filsuf Williem Nietzsche, ibarat kerumunan monster yang memalukan, yang kerjanya mengkamuflase kebenaran menjadi kepalsuan. Sehingga, politik seperti kata Hannah Arendt, sebagai banalitas kejahatan (banality of evil). Suatu kejahatan politik yang memiriskan. Ngerinya, politik Indonesia condong pada kejahatan berskala masif yang dipraktikkan dan dikerjakan oleh para politikus dengan begitu sistematis, tanpa ada rasa bersalah.
Dengan demikian, terjadilah apa yang disebut sebagai banalitas politik. Banalitas politik adalah politik tanpa isi, tanpa makna, politik yang dangkal dan sia-sia yang dibumbui atau diwarnai kejahatan. Ironisnya, itu cukup tampak di wajah para politikus di tataran elite negeri ini, yang berseliweran dan bergentayangan di medsos hari-hari ini.
Sering juga terlihat begitu bengis dari wajah dan narasi-narasi mereka, sehingga politik Indonesia tidak lagi disebut banal, tetapi juga binal, penuh dengan nafsu dan kadang begitu menjijikan. Politik yang sejarah awalnya di Yunani pun, bermula dari demokrasi ala Athenian yang santun dan suci, luhur dan mulia, dalam konteks pemikiran Aristoteles dan Plato, berubah menjadi kotor, degil dan menjijikan itu.
Pendapat sejumlah politikus, seperti politikus Italia Machiaveli, bahwa politik itu kotor dan bisa menghalalkan segala cara dan tidak perlu mempertimbangkan moral, mendapatkan penegasan sekaligus pembenaran di sini. Politikus yang berkepribadian binal penuh nafsu sulit dipercaya untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Karena berpolitik penuh nafsu akan mengarah kepada kerakusan dan keserakahan. Korupsi menjadi salah satu muara dari kerja orang-orang yang rakus.
Politikus yang penuh nafsu akan terus membangkitkan naluri primitif alamiah sebagai dasar perilaku sebagai homo sexus. Menyitir tulisan saya di Media Indonesia (2009), politikus primitif sebagai homo sexus memanfaatkan kekuasaan secara despotis. Politikus despotis adalah politikus yang tidak memertanggujawabkan perilaku politiknya secara moral dan keadabaan politik.
Politikus despotis adalah politikus yang non demokratis yang tidak kenal moral dan etika politik. Despotisme adalah musuh abadi demokrasi. Meskipun dia selalu membawa bendera demokrasi dan selalu menjual narasi atas nama demokrasi.
Politikus despotis cocok hidup di Republik Drakula. Drakula adalah vampir penghisap darah yang merupakan tokoh fiksi ciptaan Bram Stoker dalam novelnya Drakula yang terbit 1897. Semasa hidupnya, Dikisahkan dalam novel itu, Drakula adalah seorang bangsawan yang berasal dari Rumania.
Singkatnya, bukankah begitu sadisnya apabila republik ini dihuni oleh drakula penghisap darah rakyat ? Kita yakin, Indonesia belum sampai pada tahap itu.
Lalu Apa?
Kita harapkan politikus kita di negeri ini segera kembali ke jalan politik yang penuh keadaban. Jalan politik keadaban adalah jalan politik yang penuh moral yang menghargai etika politik dan menghormati norma-norma dan kesantunan sebagai cermin masyarakat adab ketimuran. Sensivitas moral harus terus menerus ditumbuhkembangkan jangan ditanggalkan.
Politikus yang senantiasa berjalan dalam koridor moral dengan memiliki kepekaan etis yang mumpuni akan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok dan lainnya. Hanya kepentingan rakyatlah yang diperjuangkannya.
Kepada para politikus di negeri ini, catat, sejelek-jeleknya Anda-para politikus, rakyat masih tetap berharap adanya kerja baik Anda untuk menyejahterakannya. Jangan lagi Anda mendustai rakyat
Penulis adalah Analis Sosial-Politik.